Andai saja angin itu tak datang membawa kabar padaku,
mungkin saat ini aku masih terdiam dalam ruang itu, menatap langit senja sambil
menunggu dentuman waktu yang terus menerus mengalun. Aku berpikir santai saat
mendengarnya, tak ada reaksi untuk langsung menerobos hari menuju dia yang
membawa ku kesini.
Semuanya akan baik-baik saja pikirku, tapi satu malaikat jauh di ujung sana memberi titah
agar aku segera beranjak dan menepati janjiku. Tuk menyisir malam dan kembali
menyapa jalan yang memisahkan jiwa. Tak ada sedikitpun sesak yang kurasakan meski
wajarnya haruslah demikian. Mungkin masih ada noda dalam hati yang dituntut tuk
suci, tiada iba maupun khawatir yang singgah dalam batinku. Hingga saat arah
semakin mendekat dan dan tujuanku siap menyapa.
Semuanya telah tiba, dan aku harus berani mengetuk pintu memberi
tanda pada mereka yang bosan menunggu. Satu peri kecil keluar dan
mempersilahkanku masuk. Aku tak tahu mengapa ada suara yang saling mengejar
dalam dadaku. Seolah memberi petunjuk akan misteri yang belum ku tahu. Langkahku
terus maju hingga kulihat dia yang sangat ku kenal, terbaring lemah dengan
keriput dan uban yang kini tak terhitung berapa jumlahnya. Dia telah
berubah,cahaya yang dulu terpancar di wajahnya semakin meredup, mungkin
pengaruh sakit pada raga yang kini menemaninya.
Tetesan hangat mengalir lembut di kedua pipiku, mengingat
betapa sepinya dia yang ditinggalkan oleh ku dan mereka yang sedarah denganku. Betapa
sunyinya hidup yang dijalaninya tanpa anak yang semuanya harus menyeberang laut
menuntut ilmu. Sejuta maaf ingin segera kusampaikan pada mu yang mengajarkanku hidup, maaf atas kurangnya doa dan perhatian yang selama ini kutujukan padamu,
maaf atas ego tuk menghiasi hidupku menjadi ramai sendiri tanpa berbagi
denganmu. Maaf atas segala salah yang kulakuakan untukmu, maaf atas segalanya. Kumohon
segeralah sembuh, disini ku merindukanmu,, disini ku mendoakan mu. Ayah ingatlah,
karena ALLAH aku mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar