Malam ini aku takkan lagi menulis tentang mimpi, tentang harapan, tentang janji
maupun tentang hati yang sakit. Malam ini
aku hanya ingin menulis tentang aku, tentang waktu, tentang hujan,tentang
dedaunan,tentang langkah, tentang tanah,tentang cinta, tentang kesetiaan. yah
semuanya tentang kita, dan kuharap kau akan suka.
Kau tau kalau Tuhan mempertemukan
kita dalam satu waktu yang teramat singkat, kau tau kalau hujan menjadi saksi
awal kedua mata kita saling mengenal. Saat
itu kau datang menyeret langkah dalam hitungan yang tak terduga, menerbangkan
partikel kecil yang sejak tadi setia menemani rintik hujan. Aku terdiam walau
banyak tanya yang tercipta dalam pikiran. Tanya itu takkan ku ucap karena kau
lebih dulu menjawab dengan sebuah senyuman. senyum itu tak pernah kulihat
sebelumnya, namun ada bisikan yang mengatakan senyuman itu tlah ku kenal.
Mungkin waktu telah membuat
kesepakatan, saat itu kita memang akan mulai meneteskan tinta diatas kertas
tentang cinta. Tapi apakah itu memang cinta, tapi apa aku layak menyebutnya
cinta? Toh aku tak yakin rasa diantara kita memang cinta. Bisa kah kau
terangkan sedikit padaku apa itu cinta? Yang ku tau sejak itu aku maupun kau
mendengar degupan yang saling mengejar diantara kita. Kau ingin
menyembunyikannya dengan kata yang mengawali semua cerita tentang kita. Saat itu
kau bertanya apa aku pernah bepikir tentang kesetiaan hujan dan dedaunan. Saat itu
kau bertanya dengan bahasa yang sulit kucerna, tapi itu yang mengajar ku bahwa
kata yang sulit dicerna menciptakan makna dan keindahan.
Hujan dan dedaunan, kau terangkan
diantara mereka selalu ada kesetiaan, bagaimana mungkin? Mereka hanya bagian yang
ada tuk mengingatkan manusia bahwa dedaunan adalah bagian dari alam, dan hujan
hanyalah warna dalam kehidupan. Mana mungkin ada kesetiaan, bukankah kesetiaan
hanya ada pada insan yang bernama manusia? Tapi aku salah, dan kau bilang “ya
aku salah”. Hujan dan dedaunan itu selalu setia, ketika hujan harus
melaksanakan tugasnya menyapa alam, dedaunan akan setia menadah rintikkan nya, terus,
hingga hujan harus berhenti menjatuhkan dirinya. Jika hujan telah pergi, dedaunan
akan setia tuk menanti, meski ia tak tau kapan hujan kan kembali. Meski ia tak
tau apakah ia akan lebih dulu mengering dan kemudian mati.
“lalu bagaimana dengan hujan?" ia datang dan
kemudian pergi tanpa peduli daun yang kan segera mengering. Kau bilang hujan
akan segera kembali, menepati janji tuk menghidupkan daun yang telah mati,
tumbuh dan menjadi dedaunan lagi. Lalu kau bilang aku harus tau terkadang waktu
akan berbuat kejam pada mereka yang ditakdirkan tuk hidup dalam waktu yang
memang singkat, dan dedaunan menjadi bagian yang ditakdirkan tuk membuat kisah
dalam waktu yang singkat itu, namun hujan akan setia menunggu daun kembali
tercipta, kemudian mereka berdua akan kembali memadu cinta, seterusnya, sama
dan seterusnya mereka berdua kan terus setia.
Hujan dan dedaunan, mereka telah
mnjadi pelengkap dalam paragraph cinta yang kita tulis bersama. Tapi lagi-lagi
apa benar ini cinta? Entahlahlah mungkin kesetiaan bagian dari cinta, atau mungkin
juga cinta yang merupakan bagian dari kesetiaan. Yang jelas keduanya terdengar
begitu indah.
Sama dengan tanah dan langkah
yang kita lalui saat pagi mempertemukan kita. Tanah dan langkah yang tak pernah
terpisah, terus memadu cinta dalam diam, menerka jawab apa cinta manusia sama
setianya degan mereka.
Aku tak tau, apakah semua manusia
punya kesetiaan dalam cinta mereka, yang jelas Aku hanya ingin bilang bahwa
hujan dan dedaunan akan selalu kita kenang disetiap langkah yang kita lalui
meski diatas tanah yang berbeda. Toh kita berdua tetap punya langkah, yang
nanti mengantarkan kita mengerti makna cinta yang sebenarnya.
kau tenggelam dalam lamunan, lalu merangkai kata dengan pelan "kita akan mengenang hujan dan dedaunan
begitu pun tanah dan langkah. karena kita sama seperti mereka. Diantara kita,
juga ada cinta dan kesetiaan."
aku pun diam mencoba melumat senyuman.
Makassar, 14/03/13