Kamis, 14 Maret 2013

Cinta dan Kesetiaan


Malam ini aku takkan lagi menulis tentang mimpi, tentang harapan, tentang janji maupun tentang hati yang  sakit. Malam ini aku hanya ingin menulis tentang aku, tentang waktu, tentang hujan,tentang dedaunan,tentang langkah, tentang tanah,tentang cinta, tentang kesetiaan. yah semuanya tentang kita, dan kuharap kau akan suka.

Kau tau kalau Tuhan mempertemukan kita dalam satu waktu yang teramat singkat, kau tau kalau hujan menjadi saksi awal kedua mata kita saling mengenal.  Saat itu kau datang menyeret langkah dalam hitungan yang tak terduga, menerbangkan partikel kecil yang sejak tadi setia menemani rintik hujan. Aku terdiam walau banyak tanya yang tercipta dalam pikiran. Tanya itu takkan ku ucap karena kau lebih dulu menjawab dengan sebuah senyuman. senyum itu tak pernah kulihat sebelumnya, namun ada bisikan yang mengatakan senyuman itu tlah ku kenal.

Mungkin waktu telah membuat kesepakatan, saat itu kita memang akan mulai meneteskan tinta diatas kertas tentang cinta. Tapi apakah itu memang cinta, tapi apa aku layak menyebutnya cinta? Toh aku tak yakin rasa diantara kita memang cinta. Bisa kah kau terangkan sedikit padaku apa itu cinta? Yang ku tau sejak itu aku maupun kau mendengar degupan yang saling mengejar diantara kita. Kau ingin menyembunyikannya dengan kata yang mengawali semua cerita tentang kita. Saat itu kau bertanya apa aku pernah bepikir tentang kesetiaan hujan dan dedaunan. Saat itu kau bertanya dengan bahasa yang sulit kucerna, tapi itu yang mengajar ku bahwa kata yang sulit dicerna menciptakan makna dan keindahan.

Hujan dan dedaunan, kau terangkan diantara mereka selalu ada kesetiaan, bagaimana mungkin? Mereka hanya bagian yang ada tuk mengingatkan manusia bahwa dedaunan adalah bagian dari alam, dan hujan hanyalah warna dalam kehidupan. Mana mungkin ada kesetiaan, bukankah kesetiaan hanya ada pada insan yang bernama manusia? Tapi aku salah, dan kau bilang “ya aku salah”. Hujan dan dedaunan itu selalu setia, ketika hujan harus melaksanakan tugasnya menyapa alam, dedaunan akan setia menadah rintikkan nya, terus, hingga hujan harus berhenti menjatuhkan dirinya. Jika hujan telah pergi, dedaunan akan setia tuk menanti, meski ia tak tau kapan hujan kan kembali. Meski ia tak tau apakah ia akan lebih dulu mengering dan kemudian mati.

“lalu bagaimana dengan hujan?" ia datang dan kemudian pergi tanpa peduli daun yang kan segera mengering. Kau bilang hujan akan segera kembali, menepati janji tuk menghidupkan daun yang telah mati, tumbuh dan menjadi dedaunan lagi. Lalu kau bilang aku harus tau terkadang waktu akan berbuat kejam pada mereka yang ditakdirkan tuk hidup dalam waktu yang memang singkat, dan dedaunan menjadi bagian yang ditakdirkan tuk membuat kisah dalam waktu yang singkat itu, namun hujan akan setia menunggu daun kembali tercipta, kemudian mereka berdua akan kembali memadu cinta, seterusnya, sama dan seterusnya mereka berdua kan terus setia.

Hujan dan dedaunan, mereka telah mnjadi pelengkap dalam paragraph cinta yang kita tulis bersama. Tapi lagi-lagi apa benar ini cinta? Entahlahlah mungkin kesetiaan bagian dari cinta, atau mungkin juga cinta yang merupakan bagian dari kesetiaan. Yang jelas keduanya terdengar begitu indah.

Sama dengan tanah dan langkah yang kita lalui saat pagi mempertemukan kita. Tanah dan langkah yang tak pernah terpisah, terus memadu cinta dalam diam, menerka jawab apa cinta manusia sama setianya degan mereka.

Aku tak tau, apakah semua manusia punya kesetiaan dalam cinta mereka, yang jelas Aku hanya ingin bilang bahwa hujan dan dedaunan akan selalu kita kenang disetiap langkah yang kita lalui meski diatas tanah yang berbeda. Toh kita berdua tetap punya langkah, yang nanti mengantarkan kita mengerti makna cinta yang sebenarnya.

kau tenggelam dalam lamunan, lalu merangkai kata dengan pelan "kita akan mengenang hujan dan dedaunan begitu pun tanah dan langkah. karena kita sama seperti mereka. Diantara kita, juga ada cinta dan kesetiaan."

aku pun diam mencoba melumat senyuman.

Makassar, 14/03/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar