Sabtu, 30 Maret 2013

“JAM KARET” penyakit kronis masyarakat Indonesia

Istilah jam karet bagi masyarakat Indonesia tentu bukan hal yang asing lagi. Seringnya mengundur-undur waktu suatu kegiatan jauh dari jadwal sebenanrnya memanglah hobi yang dimiliki oleh masyarakat bangsa ini. kejadian ini dapat kita jumpai diberbagai kegiatan apapun yang ada di Indonesia. Sangat jarang istilah “on time” dapat ditaati oleh penyelenggar kegiatan di negeri ini.

Berbagai macam alasan sering kali dijadikan alat agar penyakit jam karet yang dilakukan dapat dimaklumi. Alasan terklasik yang sering ditemukan adalah “macet. Jika alasan yang disampaikan adalah macet, saya rasa sebuah kesalahan besar untuk memaklumi alasan ini. sebab macet sendiri merupakan hal yang tidak jarang terjadi dan semua orang tentu tau hal ini. oleh karenanya siapapun harus menghindari keterlambatan karena macet dengan berangkat jauh lebih dulu dari jadwal kegiatan.

Pada umumnya macet di Indonesia hanya berlangsung satu atau dua jam, dan itupun jika kemacetan yang ditemukan memang terlampau sangat parah. Nah  karena tenggang waktu macet sendiri telah kita ketahui, maka sebagian waktu kita memang harus disisihkan untuk menghadapi kemacetan. Setidaknya kita memang harus memprediksikan berapa jam waktu yang kita butuhkan agar kita bisa tiba “on time” di setiap kegiatan kita. mulai dari memperhitungkan waktu perjalanan yang berdasarkan jarak rumah dan lokasi kegiatan plus waktu untuk menghadapi kemacetan tersebut. Bahkan dengan cara seperti ini bisa saja kita  malah tidak mengalami kemacetan.

Selain itu, kebiasaan jam karet yang menjadi penyakit kronis masyarakat Indonesia secara massal dan konsisten, harus mampu kita obati dengan mengurangi kadar kemakluman yang kita berikan kepada mereka yang terlambat. Hal ini mengingatkan saya pada berbagai macam kegiatan yang pernah saya ikuti. Setiap kegiatan seringkali dilaksanakan dengan mengulur-ulur waktu satu hingga dua jam dari jadwal semula. Hal demikian menurut saya merupakan satu bentuk diskriminasi bagi saya yang tiba tepat waktu. Sedangkan peserta lain bahkan pemateri pun dengan santainya hadir pada waktu yang jauh dari jadwal yang ditentukan. Dan parahnya lagi penyelenggara justru sangat mentolerir hal tersebut. Padahal terlalu seringnya kita mentolerir keterlambatan seseorang justru akan menjadi kebiasaan mutlak bagi mereka untuk membiasakan diri menjadi pengulur waktu.

Jika kita membandingkan dengan Negara lain, maka sangat jelas Indonesia merupakan bangsa yang tidak dapat menghargai waktu. Orang-orang diluar negeri adalah orang yang akan merasa sangat rugi apabila waktunya habis hanya untuk menunggu orang lain. Sebab menunggu memang hal yang sangat membosankan. Namun akan menjadi parah lagi apabila kita terus memaklumi keterlambatan seseorang, sebab itu berarti kita senang membuang-buang waktu kita untuk menunggu orang lain.

Kita perlu tau, bahwa ada kalanya kita memang harus memberikan pemakluman terhadap tindakan seseorang, namun jika sikap maklum tersebut terus menerus dilakuakn maka berarti kita tidak ingin mengubah orang lain untuk lebih menghargai waktu. Terlalu seringnya kita menganggap keterlambatan merupakan hal biasa justru akan mengakibatkan hal yang luar biasa bagi kita. Meskipun para petinggi negarapun juga identik dengan keterlambatan, bukan berarti kita berhak memaklumi keterlambatan orang lain dengan mengatakan “toh pejabat juga bisa terlambat” hal ini seolah-olah memberikan legitimasi bahwa terlambat bukanlah sebuah masalah.

Siapapun mereka yang terlambat entah itu peserta, pemateri, dosen, mahasiswa, bahkan petinggi Negara pun perlu kita berikan batasan dalam memaklumi tindakan keterlambatannya. Meskipun hal ini merupakan hal yang tidak mudah, namun bukan berarti kita tidak akan bisa melakukannya. Sebab menghilangkan rasa sungkan untuk tidak mentolerir/memaklumi keterlambatan seseorang merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan budaya jam karet yang telah menjadi penyakit kronis masyarakat Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar